Ironi Jogja Last Friday Ride

Jogja last friday ride atau yang lebih dikenal dengan JLFR adalah acara bersepeda bersama sama yang rutin diadakan setiap hari jum'at terakhir setiap bulannya. JLFR pertama kali diadakan pada tanggal 28 mei 2010 yang diikuti tidak lebih dari 100 peserta. Yang bertujuan untuk kampanye penggunaan sepeda dalam kehidupan sehari hari kita. Hari ini 28 februari 2014 adalah JLFR yang ke-46 dan jumlah partisipannya mungkin lebih dari 1000 orang. Semua jenis sepeda ada, dari sepeda fixie sampai sepeda onthel kuno.

Hari ini adalah untuk ke-6 kalinya saya berpartisipasi dalam JLFR setelah saya menetap di Jogja. Tapi hari ini saya tidak seantusias seperti waktu pertama kali mengikuti JLFR. Ada banyak hal yang membuat saya untuk berfikir ulang apakah saya akan tetap berpartisipasi dalam kegiatan ini pada bulan-bulan berikutnya. Tujuan dari JLFR ini sangat sangat baik. Mengajak orang untuk kembali menggunakan sepeda. Dengan sepeda kita bisa mengurangi polusi udara dan mengurangi kemacetan. Tapi pada prakteknya banyak hal yang sangat ironi. Miris dan malu sendiri karena saya adalah salah satu peserta dari acara ini. 


kemacetan di Tugu

Saya adalah pesepeda aktif, hampir setiap hari saya menggunakan sepeda untuk beraktivitas. Saya cukup tau bagaimana rasanya kadang pesepeda itu sangat terpinggirkan. Merasa kurang dianggap. JLFR berhasil mengumpulkan ratusan pesepeda setiap bulannya dan bersama sama berkeliling kota. Kita ingin membuktikan bahwa kita baik baik saja walaupun banyak hak pesepeda yang diambil. Ratusan sepeda ini berhasil memacetkan kota setiap jumat terakhir. Ironinya tujuan yang baik ini tercoreng oleh karena banyak pesertanya yang tidak mentaati peraturan. Disaat lampu lalu lintas masih menyala merah, mereka tetap berusaha untuk menerobosnya. Seolah-olah merekalah yang berkuasa dijalanan saat itu. Mereka bilang ini hanya sekali dalam sebulan mereka membuat kemacetan dan setiap hari kendaraan lain sudah membuat kemacetan. Tapi buat saya, melanggar sebuah peraturan adalah sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak bisa ditolerir. Bukankah kita bisa menunggu? Kita tidak akan mati juga kan kalau harus menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tentang ruang tunggu sepeda. Banyak orang yang memprotes bahwa ruang sepeda yang dipakai dan ditempati oleh sepeda motor dan mobil. Itu memang hal yang salah. Tapi lebih salah lagi jika kita para pesepeda tidak menggunakan fasilitas itu dengan semestinya jika memang ruang tunggu sepeda itu dalam keadaan kosong dan lebih memilih berhenti dizebracross.

Kesadaran orang untuk membuang sampah memang masih rendah. Begitu juga dengan beberapa peserta JLFR. Sebelum berangkat mereka berkumpul distadion kridosono. Sambil menunggu peserta yang lain mereka menikmati makanan dan minuman yang mereka bawa. Tapi mereka lupa untuk membawa bungkus makanan atau botol minumannya. Mereka meninggalkannya begitu saja. Pun pada saat mereka selesai dan berkumpul disekitaran Tugu dan Jalan Mangkubumi. Merekapun lupa untuk membuang sampah pada tempatnya.


Saya yakin masih banyak peserta JLFR yang mentaati peraturan dan tidak membuang sampah sembarangan. Semoga kedepannya banyak peserta yang sadar akan pentingnya mentaati peraturan dan tidak membuang sampah sembarang. Sehingga tujuan JLFR yang sangat baik ini tidak tertutup oleh hal jelek itu.
Dan bagi saya, saya tetap akan bersepeda. Dengan atau tanpa JLFR


1 comment:

  1. pendiri jlfr namanya siapa? asal mana? asal usulnya gimana?
    #inginmenambahwawasan.TY

    ReplyDelete